You need to enable javaScript to run this app.

Doa yang Tak Pernah Terucap

  • Senin, 28 April 2025
  • Administrator
  • 0 komentar
Doa yang Tak Pernah Terucap

Di tengah hawa dingin Mukun yang berkabut, asistensi Paskah tahun ini terasa lebih syahdu. Di aula kecil dekat gereja, lampu-lampu sederhana bergoyang ditiup angin. Mahasiswa dari berbagai tempat berkumpul, duduk berkelompok, membahas tugas-tugas liturgi dan drama paskah.

Adalah Rafael, mahasiswa semester 2 yang sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Clara. Sejak awal perkuliahan, Clara selalu ada — dalam tawa yang mereka bagi, dalam diskusi panjang saat mengerjakan tugas, bahkan dalam keheningan, saat Rafael hanya bisa mencuri pandang ke arah gadis itu.

Namun, Clara dikenal dingin. Tatapannya kerap kosong, kata-katanya hemat, dan senyum pun bagai hujan di musim kering: langka. Tapi entah kenapa, justru itu yang membuat Rafael semakin jatuh hati. Ia ingin menjadi satu dari sedikit alasan Clara bisa tersenyum lebih sering.

Malam itu, setelah asistensi hampir selesai, Rafael mengajak Clara berjalan di jalan setapak yang sunyi, dikelilingi pohon pinus yang menghitam dalam gelap. Bulan purnama mengintip malu-malu di balik awan.

"Aku senang kita bisa tugas bareng lagi," kata Rafael, berusaha membuka pembicaraan.

Clara hanya mengangguk, pandangannya lurus ke depan. Diam. Seperti biasa.

Debar di dada Rafael semakin tak terbendung. Ini mungkin kesempatan terakhir, pikirnya. Ia tahu setelah paskah ini, kesibukan skripsi dan magang akan membawa mereka ke arah hidup masing-masing. Ia tak mau menyesal.

Mereka berhenti di dekat sebuah kapel kecil. Rafael menarik napas panjang, tangannya bergetar.

"Clara..." suaranya nyaris berbisik.

Clara menoleh, tanpa ekspresi, seakan menunggu kalimat selanjutnya tanpa harap apapun.

"Aku..." Rafael menggigit bibir bawahnya, menahan gemuruh yang seolah akan meledak. "Aku suka suasana Mukun malam ini," katanya akhirnya, mundur teratur.

Clara kembali mengangguk pelan. "Dingin," jawabnya singkat.

Seperti hatimu, batin Rafael, pahit.

Mereka berdiri dalam diam, hanya mendengar desir angin dan gesekan daun. Dalam hening itu, Rafael menatap gadis di sampingnya, menahan semua kata yang ingin ia ucapkan — tentang rasa yang tumbuh diam-diam, tentang rindu yang membuncah, tentang doa-doa yang diselipkan di setiap malamnya.

Tapi ia tahu, Clara bukan tipe yang akan membalas cinta yang diungkapkan dengan kata-kata indah. Mungkin perasaannya akan hanya menjadi beban untuk Clara, dan Rafael lebih memilih untuk menjaga jarak yang membuat Clara nyaman, daripada menghancurkan kedekatan yang sudah mereka punya.

"Yuk, balik," ajak Clara tanpa menunggu jawaban.

Rafael hanya mengangguk. Dalam hatinya, ia memeluk rasa itu erat-erat, membiarkannya menjadi bagian dari doanya yang tak pernah terucap.

Malam di Mukun terus berjalan, dan begitu pula perasaan Rafael — tetap hidup, tapi disimpan rapi, seperti salib kecil yang tersembunyi di dada.

 

Bagikan artikel ini:

Beri Komentar

Artikel Terkait

Kirenius C.C Watang, S.T.,M.M

- Ketua -

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Karya hadir dalam rangka memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak....

Berlangganan
Banner